Ngaben Bali Aga - Lemukin Buleleng
Sejarah Desa Lemukih di Kabupaten Buleleng dapat ditelusuri dari catatan situs Sawan.bulelengkab.go.id. Merupakan salah satu desa tertua di wilayah tersebut, awalnya berlokasi di Temacak Kangin. Namun, kejadian aneh terjadi ketika warga banyak meninggal setelah berurusan dengan makhluk bernama bejulit atau bejagul. Akibatnya, warga pindah ke Temacak Kauh, tetapi mereka kembali dihadapkan pada gangguan semut api. Hal ini mendorong mereka untuk berpindah ke lokasi akhir, Desa Lemukih. Asal-usul nama Lemukih, konon berasal dari kata "lembu" dan "akeh", merujuk pada sapi dengan bulu putih yang melimpah. Di Desa Lemukih, terdapat mitos menarik yang masih dipegang teguh oleh masyarakat, yaitu "Mitos Larangan Membakar Mayat Saat Ngaben" atau dikenal sebagai "bila tanem atau mratiwi." Larangan ini memiliki filosofi mendalam, mengajarkan agar jasad yang berasal dari unsur pertiwi merunduk kembali ke tanah, sehingga dapat bersatu dengan bumi. Hal ini dipandang sebagai tindakan etis yang memungkinkan mereka untuk "mencium bunda pertiwi." Tak hanya itu, Desa Lemukih juga memiliki pura yang sangat dihormati, yaitu "Pura Bukit Cemara Geseng." Terletak di puncak bukit, pura ini menjadi tempat suci yang sangat strategis bagi masyarakat Lemukih. Keseluruhan kisah ini menciptakan warisan dan identitas unik Desa Lemukih yang patut diselidiki lebih lanjut.
Awalnya, Desa Lemukih melaksanakan upacara ngaben yang dikenal sebagai pemuunan atau pembakaran. Suatu hari, saat tengah berlangsungnya upacara ngaben, kejadian tak terduga terjadi. Api yang seharusnya digunakan untuk membakar jenazah terus-menerus padam dan sulit dinyalakan. Bahkan, jenazah di dalam peti terlihat seakan berkeringat, mengeluarkan cairan. Kejadian aneh ini tidak berhenti di situ, melainkan melibatkan warga yang hadir, yang tiba-tiba mengalami kerauhan massal. Selama kerauhan, warga dilarang melanjutkan upacara ngaben karena asap dari proses pembakaran jenazah dapat mencemari kesucian Pura Bukit Cemara Geseng, menjadikannya kotor. Sebagai pengganti, pengabenan dilakukan dengan mencabut tanaman di sekitar kuburan yang telah diabeni. Tanaman yang telah dicabut kemudian dibungkus dengan kain putih kuning dan dibawa oleh anak perempuan yang masih suci. Kejadian tersebut membawa keyakinan baru di masyarakat Lemukih, bahwa ngaben seharusnya dilakukan dengan mencabut tanaman di sekitar kuburan, bukan dengan membakar jenazah. Melanggar larangan ini dianggap dapat membawa malapetaka bagi seluruh desa, seperti tanda "Gerubug," yang mengindikasikan meninggal tanpa sebab yang jelas.
Larangan Membakar Mayat Saat Ngaben” itu memang sudah dilakukan secara turun-temurun. Upacara Ngaben yang tidak dengan membakar mayat atau disebut dengan “bila tanem atau mratiwi