Ngaben Bali Majapahit - Desa Tirtha Sari Ulakan Kabupaten Karangasem
Letak geografis Desa Ulakan merupakan salah satu desa di Kecamatan Manggis yang secara geografis merupakan desa subur dengan ketinggian 200 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah Desa Ulakan adalah 100 Ha yang sebagian besar merupakan lahan pertanian. Desa Ulakan terdiri dari 5 Banjar, seperti Banjar Belong, Banjar Tengah, Banjar Kodok, Banjar Mantri, dan Banjar Mangku. Letak desa Ulakan sangat strategis dan dekat dengan pantai yang juga dijadikan dermaga pertamina oleh pemerintah. Di sisi lain Desa Ulakan memiliki banyak sumber air, sumur, sungai, dekat dengan pantai, sehingga pertanian sangat cocok untuk dilaksanakan. Dari luas wilayah Desa Ulakan sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan untuk pembangunan rumah, balai banjar, pemakaman, lapangan olah raga, sekolah, pura dan perbukitan sebagai lahan pertanian dan perkebunan.
Sistem masyarakat desa Ulakan masih sangat kental, masih menggunakan konsep menyama braya yang mana setiap anggota keluarga harus menjaga silaturahmi dengan anggota lain yang mengadakan upacara baik besar maupun kecil dengan dasar keikhlasan. Selain itu masyarakat Desa Ulakan ibarat suatu kesatuan sosial yang menjalin hubungan harmonis antara satu sama lain sehingga dapat hidup berdampingan dan saling asah, asih, asuh. (Monografi Desa Ulakan, 2005).
Ngaben krama Dadya Arya Kubontubuh Tirtha Sari Desa Ulakan Kabupaten Karangasem bertujuan untuk meringankan biaya, memunculkan rasa persaudaraan dan menumbuhkan rasa gotong royong. Mengingat dalam kitab-kitab agama disebutkan bahwa jenazah tidak boleh dikuburkan lebih dari lima tahun, maka atas persetujuan pihak krama dilakukan upacara Ngaben. Rangkaian Ngaben yang dilakukan oleh krama Dadya Arya Kubontubuh Tirtha Sari Desa Ulakan Kabupaten Karangasem adalah sebagai berikut:
1. Nanceb
Upacara Nanceb merupakan langkah awal mempersiapkan dan merancang pelaksanaan Upacara Ngaben. Pembuatan tempat upacara Ngaben krama Dadya Arya Kubontubuh Tirtha Sari Desa Ulakan Kabupaten Karangasem dilakukan secara gotong royong yang dilaksanakan di Pura Paibon Dadya Arya Kubontubuh Tirtha Sari.
2. Ngadegang Sri
Upacara Ngadegang Sri bertujuan untuk membersihkan dan memohon kepada Dewi Sri agar memberikan kesucian pada upacara tersebut, karena sebagian besar upacaranya akan menggunakan nasi.
3. Nunas ke Pura Dalem Ulakan
Upacara nunas ke Pura Dalem merupakan prosesi dimana pratisentana/putra/putri/keluarga memohon kepada atma / arwah almarhum di Pura Dalem untuk nantinya dilakukan adalah Upacara Ngaben. Setelah pelaksanaan nunas di Pura Dalem selesai, kemudian dilanjutkan dengan maktiang tapakan di titi gonggang.
4. Ngulapin
Upacara dilaksanakan di Pantai Desa Ulakan yang pelaksanaannya dimaksudkan untuk mengundang arwah orang yang meninggal.
5. Maktiang Tapakan
Setelah upacara nunas dan ngulapin selesai, kemudian dilanjutkan dengan maktiang tapakan di Pura Prajapati, Catus Pata Desa Ulakan dan Pura Paibon. Maktiang Tapakan di Pura Prajapati merupakan doa kepada Sang Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Prajapati dan juga Dewi Durga yang terletak di hulu setra atau pemakaman. Usai sembahyang di Pura Prajapati maktiang tapakan, kemudian dilanjutkan di Catus Pata Desa Ulakan dan Pura Paibon.
6. Melaspas Kajang
Kajang merupakan lambang atman yang digambarkan dengan aksara dan gambar suci, kegunaan kajang dalam upacara pengabenan diletakkan di atas jenazah seperti selimut.
7. Melaspas Pondok dan Bale Gumi
Pondok adalah suatu bangunan menyerupai rumah yang terbuat dari bambu dan beratap daun kelapa, dimana bangunannya berbentuk memanjang tempat diletakkannya sekah, sawa, kajang dan bebantenan . Sedangkan bale gumi merupakan bale yang bertingkat tiga dengan lantai dasar. Bale gumi merupakan tempat sawa yang akan dibakar. Oleh karena itu disebut juga bale pamuhun. Sesuai dengan namanya, bale gumi berfungsi seperti tanah. Upacara melaspas bertujuan untuk membersihkan dan menyucikan pondok atau pondok dan bale gumi secara niskala sebelum digunakan.
8. Upacara Ngeringkes dan Ngunggahang Tumpang Salu
Upacara Ngeringkes diawali dengan menurunkan sawa yang dalam hal ini telah diganti 5 oleh pengawak yang terbuat dari kayu cendana ke pepaga yang telah dipasangi tikar dan di bawahnya terdapat bantal yang diisi kepeng satakan kemudian di atas sawa dipasang kain putih leluhur. Selanjutnya disiram, disabun, keramas, diberi bablonyoh putih kuning, disiram yeh kumkuman, lalu mulutnya disiram, disisig. Rambut diminyaki, disisir rapi. Kukunya dikerik lalu dibungkus dengan daun dapdap dan ditaruh di bawah sawa. Selanjutnya kita taruh beberapa khasiatnya sebagai berikut: daun antaran di kedua alis, pusuh menuh di hidung, kacamata di mata, waja di gigi, sikapa di dada, bedak tabur di perut, malem di telinga, daun terong di alat kelamin laki-laki atau daun teratai di atas alat kelamin perempuan. Pada setiap ibu jari kaki diikat dengan benang putih, tangan diisi kwangen dengan uang kepeng 11, monmon mirah dimasukkan ke dalam mulut, beberapa kwangen ditempelkan pada badan dengan rincian sebagai berikut:
Pada Adas meliputi 1 kwangen + 11 Uang Kepeng, pada Tangan kiri meliputi 1 kwangen + 5 Uang Kepeng, pada Tangan Kanan meliputi 1 kwangen + 5 Uang Kepeng, pada Dada meliputi 1 kwangen + 11 Uang Kepeng, pada Ulu Hati meliputi 1 kwangen + 11 Uang Kepeng, pada Kaki kiri meliputi 1 kwangen + 5 Uang Kepeng, pada Kaki Kanan meliputi 1 kwangen + 5 Uang Kepeng, pada Lambung kanan meliputi 8 kwangen + 15 Uang Kepeng, pada Lambung kiri meliputi 8 kwangen + 15 Uang Kepeng, dan pada Bantal tanpa kwangen dengan kepeng sebanyak 225 kepeng. Kemudian, sawa diperciki dengan tirta penglukatan atau air suci penyucian. Percikan tirtha/pensucian air suci merupakan salah satu upaya mensucikan dan mensucikan sawa agar dekat dengan sang pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang merupakan tujuan akhir hidup manusia. Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah Yang Maha Suci dan tentunya merupakan sumber kesucian. Setelah upacara donan sawa selesai dilakukan ngeringkes sawa, yang kemudian digulung dengan kain putih dan mat kalasa, di lante dan diikat di paha. Di atas gulungan itu ditaruh daun telujungan dan kain putih serta tatindih.
9. Melaspas Pangiriman
Upacara Melaspas bertujuan untuk menyucikan benda (sifat upakara) berupa pangiriman yang digunakan sebagai tempat pengusungan sekah dan kajang menuju pekuburan. Pemelaspas tidak hanya berarti penyucian, tetapi juga menjadikannya suci. Hal ini juga bertujuan untuk memberikan utpati atau menghidupkan kembali, setelah selesai dipelaspas status pangiriman sebagai cara keagamaan yang merupakan wahana hidup.
10. Ngaskara
Pangaskaran (pengaskaran, upacara ngaskara, askara) adalah upacara penyucian atma petra menjadi pitara. Ketika kematian terjadi, praketi (badan kasar) dipisahkan oleh atma namun tetap diikuti oleh suksma sarira (sifat pikiran, perasaan, keinginan, nafsu), maka seperti yang disebutkan dalam sumber kutipan indik ngaben , atma disebutkan dibersihkan dengan ngaskara. Pelaksanaan Ngaben oleh krama Dadya Arya Kubontubuh Tirtha Sari Ulakan mempunyai keunikan tersendiri karena pelaksanaannya dilakukan sebagaimana Ngelanus Ida Pedanda Buddha, ditandai dengan perbedaan pelaksanaan pengaskaraan yang diawali dengan ngereka sawa karsian.
Kelebihan dari pengaskaraan ini meliputi sifat dan prosesnya yaitu dari segi khasiat : menggunakan banten puriagan, banten suluh agung, sekah lilit dan tumaligi untuk semua sawa yang hanya bisa dibuat oleh Tarpini Sulinggih, sedangkan dalam prosesnya dilakukan oleh Ida Pedanda Buddha . nepak dan penyolsolan sekah lilit dengan bebek putih, ayam putih dan kucit butuan selem.
11. Narpana
Tarpana (narpana) adalah bebantenan maha suci yang dipersembahkan kepada para leluhur yang dalam kumandang lontar sundarigama disebutkan tarpana dipersembahkan sebagai bentuk dhyana, pemujaan kepada leluhur dengan menyusun bebantenan seperti terpal sarwa pawitan dan lain sebagainya. Tarpana atau disebut juga narpana dalam upacara Ngaben merupakan bekal pabuktian atau bekal di alam sunya berupa piring, pakaian dan lain-lain kepada pitra yang disajikan melalui puja sulinggih.
12. Melaspas Padma dan Macan Selem atau Macan Hitam
Sebagaimana yang dilakukan pada pangiriman, padma dan petulangan macan selem juga merupakan pelaspas sebelum digunakan. Upacara melaspas bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan padma dan macan selem secara niskala sebelum digunakan pada upacara Ngaben.
13. Puncak Upacara Ngaben
Puncak upacara Ngaben diawali dengan membawa seluruh perlengkapan Ngaben dari Pura Paibon ke Setra atau pemakaman. Peralatan ini meliputi bebantenan yang diperoleh dari griya, padma dan macan selem yang telah menjadi pelaspas. Setelah semua perlengkapan sampai di setra, selanjutnya dilakukan upacara mapegat yang dilakukan oleh tiga sulinggih Buddha-Siwa, yaitu Ida Pedanda Gede Jelantik Karang, Ida Pedanda Gede Ketut Oka Jelantik Dwipayana dan Ida Pedanda Gede Made Dauh. Upacara ini jika dilihat dari konteks keagamaan melalui literaturnya (khususnya di Itihasa) dengan berbagai cara selalu menyerukan, kematian anggota keluarga hendaknya diterima dengan penuh keikhlasan. Upacara perpisahan yang dilakukan di depan pondok atau pondok dengan persembahan Segehan Agung lengkap dengan lampion kecil, sehelai benang tridatu di antara dua dahan pohon dapdap yang bertangkai, sudah siap digunakan. Pada benang tersebut ditusuk dan digantungkan sejumlah uang kepeng.
Upacara mapapegat merupakan upacara yang bermakna sebagai penerimaan terhadap keadaan, artinya pihak keluarga almarhum hendaknya ikhlas melepaskan cuti antara pihak keluarga dan almarhum mengadakan upacara perpisahan dengan menggunakan upakara seperti banten Berbagai papegat.
Rangkaian selanjutnya adalah puja sulinggih di hadapan jenazah yang mana pengawak dari kayu cendana dikeluarkan dari pondok kemudian akan dibawa dan diangkat ke puncak padma. Saat sulinggih melakukan mapuja, pratisentana duduk dengan rapi. Setelah selesai, selanjutnya dilanjutkan dengan pengusungan jerusah (pengawak) menuju tempat pengutangan panjang dimana padma berada. Penggarapan jenazah merupakan puncak dari upacara Ngaben.
Saat jenazah hendak diberangkatkan, di atas peti mati duduk dua orang yang membawa sekar ura, ubes-ubes (bahan dari bulu merak) digantungkan seekor anak ayam. Jenazah diputar tiga kali ke kiri (prasawya), lalu berhenti di depan bale gumi yang di atasnya telah terdapat petulangan macan selem. Kajang dan kereb sinom diambil dan ditaruh di belakang tirtha. Lante, tikar dan rurub dibuka. Sesampainya di tempat pemakaman jenazah (pengawak) sebelum diturunkan purwadak-sina disucikan di sekitar tempat pembakaran. Upacara Mapurwa Daksina , dimana Purwa Daksina adalah nama upuk atau arah mekarnya angin Sansekerta, Purwa artinya Timur, Daksina artinya Selatan. Mapurwa daksina merupakan rangkaian upacara Ngaben mengelilingi bale gumi (pembakaran jenazah) yang berputar dari timur ke kanan sesuai putaran jarum jam.
Setelah selesai, jenazah kemudian diturunkan dari padma dan dibawa ke atas macan tutul dengan urutan sebagai berikut:
Pertama, potong tali ante. Kedua, Seluruh kain pembungkus dibuka, sehingga tampak muka badan (pengawak). Ketiga, Sulinggih melakukan upacara pangentas dengan urutan Penyiraman toya panembak dari muka sampai ke kaki, tempat toya panembak diremukkan. Kemudian, Kelukuh kawitan, pangijeng, tirtha pangentas jotan, tirta kayangan tiga dan terakhir tirtha prajapati.
Jenazah dibakar dengan istilah api hingga seluruh badan menjadi abu. Setelah jenazah menjadi abu, disiram sulinggih dan disiram kembali hingga sejuk bersama yeh anyar. Penyiraman ini disebut dengan istilah “penyeeb”. Setelah padam, semuanya dibakar lalu dihidangkan saji “geblangan”. Apinya disiram dengan “toya panyeheb”. Setelah ngereka selesai barulah dilanjutkan dengan peralina sebagai tahap akhir ibadah sang sulinggih sebelum ngayut. Merelina dikerjakan oleh pemilik sekah bersama keluarganya dan dipimpin oleh sulinggih. Meralina menggunakan upakara: daksina asoroh, menyan, astanggi, sekar tunjung putih (wijaksara masurat) dan piring sutra. Setelah pamralina selesai, diakhiri dengan ibadah keluarga, kemudian dilanjutka dengan upacara ngirim (nganyut).
14. Masesapuh
Setelah tiga hari upacara Ngaben selesai yang ditandai dengan ngayut, masih ada kegiatan mesapuh. Upacara ini merupakan upacara pembersihan yang diisi dengan caru manca sanak.
15. Nuntun dan Maajar-ajar
Setelah upacara Ngaben selesai, maka dilanjutkan dengan upacara nuntun dan majar-ajar. Upacara ini biasa juga disebut nyegara gunung yang tujuannya untuk mempersembahkan Hyang Widhi dan bhatara kawitan bahwa almarhum telah selayaknya, untuk selanjutnya mendapat tempat sesuai dengan karmanya. Pada tahap ini, almarhum disebut Dewa Pitara atau Dewa Hyang.