Ngaben Bali Majapahit - Desa Gunaksa, Kabupaten Klungkung
Desa Gunaksa, yang terletak di Kabupaten Klungkung, Bali, memiliki sejarah yang kaya dalam warisan budaya dan tradisi lokal. Meskipun tidak ada catatan tertulis yang jelas tentang asal usulnya, cerita lisan turun-temurun menggambarkan bahwa desa ini telah ada sejak zaman kuno. Desa Gunaksa diyakini telah menjadi tempat hunian bagi berbagai kelompok masyarakat dari berbagai daerah di Bali yang datang dan menetap, membentuk sebuah komunitas yang hidup harmonis dengan alam sekitarnya. Pengaruh budaya Hindu yang kuat terlihat dalam keberadaan pura (kuil) yang memiliki peran sentral dalam kegiatan keagamaan dan sosial masyarakat Gunaksa. Tradisi dan kebudayaan Bali yang khas sangat terjaga di Desa Gunaksa. Masyarakatnya sangat memperhatikan upacara keagamaan, tarian, musik, dan kerajinan tangan tradisional. Nilai-nilai seperti gotong-royong, kebersamaan, dan kecintaan terhadap tradisi turun-temurun menjadi landasan kuat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Meskipun terjadi perkembangan modernisasi, masyarakat Desa Gunaksa tetap berusaha mempertahankan dan melestarikan kekayaan budaya warisan nenek moyang mereka, menjadikan desa ini sebagai simbol penting dari warisan budaya Bali yang masih lestari hingga saat ini.
Ngaben di Desa Gunaksa, Klungkung, Bali, merupakan salah satu tradisi sakral yang sangat dihormati dan dijalankan oleh masyarakat setempat. Prosesi Ngaben ini merupakan bagian integral dari upacara kematian dalam kepercayaan Hindu di Bali, di mana jenasah yang telah meninggal akan dimakamkan melalui proses pembakaran. Dalam konteks Desa Gunaksa, Ngaben tidak hanya merupakan upacara keagamaan, tetapi juga merupakan momen penting yang melibatkan seluruh komunitas desa. Salah satu elemen krusial dalam prosesi Ngaben Desa Gunaksa adalah penggunaan patulangan bawi srenggi. Petulangan Bawi Srenggi merupakan salah satu aspek penting dalam prosesi Ngaben, ritual kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali. Terutama digunakan oleh warga tutuan di Desa Gunaksa, Kabupaten Klungkung, petulangan ini menjadi simbol utama dalam upacara kremasi jenazah. Sejarah penggunaan petulangan Bawi Srenggi di dalam prosesi Ngaben di Desa Gunaksa dapat ditelusuri ke dalam warisan tradisional yang telah mendarah daging dan tercatat dalam piagem prasasti tutuan di Pura Bukit Buluh.
Konsep serta makna filosofis yang terkandung dalam petulangan ini menjadi dasar bagi keberadaannya yang dipercayai oleh masyarakat warga tutuan. Bentuk dari petulangan Bawi Srenggi sendiri menampilkan representasi babi hutan yang mempunyai atribut khusus, termasuk tanduk yang melambangkan waraha awatara, salah satu awatara Wisnu yang terkenal dalam mitologi Hindu. Diyakini bahwa simbol ini mengandung makna filosofis mendalam terkait dengan penyelamatan dunia dari kejahatan, yang menjadi bagian penting dari nilai-nilai kepercayaan masyarakat Hindu. Dalam prosesi Ngaben, petulangan Bawi Srenggi dibentuk secara struktural dari tiga elemen: petulangan (wujud binatang yang dianggap sakral), baturan (alas), dan sanan (alat pembawa). Selain struktur fisiknya, keindahan estetika petulangan ini tercermin dari prinsip-prinsip seperti kesatuan bentuk, keseimbangan, kontras yang dinamis, harmoni warna, serta kehadiran garis dan bidang yang menghasilkan karya seni yang memukau. Selain dimensi estetika, petulangan Bawi Srenggi juga memuat nilai-nilai filosofis Hindu. Konsep filosofis seperti satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keindahan) tercermin dalam struktur, penggunaan, dan simbolisme yang melekat pada petulangan ini. Lebih dari sekadar wujud fisik, petulangan Bawi Srenggi juga memuat fungsi pendidikan yang mencakup aspek karakter, komitmen religius, serta konsep kesetiaan dan kerja sama.